Kamis, 24 Juli 2014
Tukang Pijat++ Yang Mengoda (17+)
Sebagai seorang konsultan aku sering
pergi keluar kota dan
menginap di hotel bisa sampai berbulan-bulan lamanya.
Seringnya menginap sekamar
bareng dengan anggota tim
lainnya namun kadang juga
menginap sendirian.
Pekerjaanku yang bersifat projek jelas sering menuntut
waktu ekstra dan kerja keras
sehingga membuatku
mengalami keletihan baik fisik
dan mental. Kalau sudah
begitu aku segera mencari tukang pijat untuk
mengendorkan urat saraf yang
telah amat tegangnya. Giliranku kali ini mendapatkan
projek di kota B yang berhawa
sejuk dan merupakan kota
idolaku. Dulu aku sempat lama
berdiam di kota ini ketika
kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini.
Sebagaimana projek-projek
lain yang sering kukerjakan
maka tidak ada perkecualian
projek ini juga menuntut
energi dan pikiran ekstra keras karena ketatnya jadwal. Salah
satu hal yang menyebalkan di
kota ini adalah masalah taxi
yang buruk kondisinya dan lagi
jarang mau menggunakan argo
sehingga harus selalu melakukan negosiasi terlebih
dahulu. Oleh sebab itu sering
aku mencari hotel terdekat
dengan lokasi projek sehingga
dapat dicapai dengan jalan
kaki hanya beberapa menit. Minggu ini adalah puncak-
puncaknya pekerjaan sehingga
keletihan amat sangat terasa.
Hal ini menyebabkan aku
malas pulang week end ke
kota J di mana aku tinggal. Kurencanakan Sabtu pagi
besok saja untuk pulang
menggunakan kereta api.
Karena anggota tim lain selalu
pulang ke J (semuanya
berdomisili di J) di akhir minggu maka kini tinggal aku
sendirian. Setelah makan malam di
restoran hotel aku masuk ke
kamar sambil nonton acara-
acara TV. Berhubung hotel ini
bukan hotel mewah maka
channel acara TV-nya pun terbatas, untuk mengirit
ongkos operasional kali.
Setelah satu jam aku mulai
dihinggapi kejenuhan. Mau
tidur masih amat susah karena
malam begitu larut, baru jam 8an, dan badan yang amat letih
ternyata malah membuat sulit
untuk segera beristirahat tidur.
Tiba-tiba aku teringat biasanya
hotel ada info layanan pijat.
Kucari-cari brosurnya tidak kutemukan. Tanpa kurang akal
kutelpon operator untuk
menanyakan apakah di hotel
ini bisa dicarikan tukang pijat.
Ah lega rasanya ketika
dijawab bisa dan akan segera diantar. Sambil menunggu kedatangan
tukang pijat aku mulai
mencoba kembali menikmati
acara-acara di layar TV. Tapi
ternyata pikiranku sudah mulai
melantur membayangkan nikmatnya ketika badan yang
pegal hebat ini akan
mendapatkan terapi pijat yang
pasti akan memanjakan urat
dan saraf-saraf yang telah
mulai menuntut untuk dirilekskan sejak beberapa
hari ini. Ah beginilah
nikmatnya masih bujangan
(sebagai lelaki berusia 35 aku
jelas termasuk telat menikah,
hehe biarin masih enak sendiri kok), waktu masih bisa diatur
sesuka hati. Coba kalau
berkeluarga sebagaimana
kawan-kawanku itu, pasti
mereka harus buru-buru
pulang sementara masih harus berjuang untuk mendapatkan
tiket kereta karena penuhnya
calon penumpang di akhir
minggu. Sejam kemudian ada suara
ketukan pintu, ah sudah
datang, batinku dengan girang.
Ketika kubuka aku agak
sedikit heran karena tukang
pijatnya ibu-ibu berumur 45-an lebih kira-kira. Tinggi tubuh
sekitar 155 cm, berkulit kuning
bersih, wajah sudah
menunjukkan usianya yang
memang sudah matang.
Dengan mengenakan jaket kain dan bercelana jean yang
agak ketat. Dengan santunnya
dia permisi untuk masuk.
Kupersilakan dia masuk
sementara pengantarnya yang
adalah bell boy kemudian pergi meninggalkannya. Setelah di dalam kamar
kupersilakan duduk dulu di
kursi pojok kamar. Aku ijin
sebentar ke toilet untuk pipis
karena aku memang termasuk
orang yang nggak tahan dingin (sudah di kota yang dingin ber-
AC pula) sehingga sering pipis.
Daripada nanti pas ditengah-
tengah aksi pemijatan aku
kebelet mendingan
kukeringkan dulu kantong pipisku. Kan nggak nyaman pas
lagi merem-melek dipijat eh
kebelet pipis, pasti akan
merepotkan. Setelah selesai dari toilet
kulepas kaos dan celana
pendekku sehingga tinggal CD
saja. Lalu kulihat ibu itu
membuka jaketnya sehingga
hanya memakai kaos ketat hitam saja. Wah ternyata si ibu
ini masih bagus juga badannya,
kelihatan perut masih
kencang. Tanpa banyak buang
waktu langsung aku tengkurap
di atas ranjang. Ibu tukang pijat mendekat dan
mengatakan maaf serta
mohon ijin untuk mulai
pemijatan. Pertama yang
dipijat adalah telapak kaki. Ah
nyamannya. Telapak kakiku yang telah kaku-kaku ditekan-
tekan dan kemudian diurut. Aku tak mau banyak bicara
agar Si Ibu lebih fokus pada
pekerjaannya dan aku
konsentrasi agar kenikmatan
yang kuraih dari pijatan-
pijatan maksimal. Setelah selesai dari telapak kaki
mulailah naik menuju ke
betisku yang tak kalah
kakunya. Rupanya betis kaku
kalau dipijat menimbulkan
rasa nyeri sehingga aku sedikit meringis. Rupanya Si Ibu tahu
kesakitanku lalu sedikit
dikurangi tekanannya. Selesai
ditekan-tekan kemudian
diurut-urut. Untuk urut
dipakailah cream agar licin. Begitu sampai menuju paha
tiba-tiba kudengar suaranya.. "Den, maaf CD-nya dilepas saja
biar nggak kotor kena minyak.
Maaf ya." Karena logis alasannya ya
kulepas saja meskipun
membuatku kikuk (aku sering
dipijat tetapi biasanya pria
tuna netra). Aku lepas CD-ku
dengan hanya mengangkat pantat terus kuperosotkan
keluar dari kaki. Menurutku Si
Ibu nggak dapat melihat
"adikku". Lalu aku mapan lagi
agar pijatan dapat diteruskan.
Mulanya paha luar yang mendapatkan giliran. Setelah
kedua sisi paha luar selesai
baru dilanjutkan dengan paha
dalam. Dengan mengurut dari
arah bawah menuju atas, stop
press!! Bisakah anda bayangkan? Jari-jarinya, kayaknya ibu
jarinya (aku nggak bisa lihat
sih) secara halus menyenggol
kantong-kantong
kejantananku. Serr.
Kudiamkan. Kemudian pantatku mulai dijamahnya
dengan cara melingkar dari
bawah ke atas luar terus turun
masuk ke dalam dan berakhir
di.. Ujung selangkangan
persisnya tengah-tengah antara kedua kantong
kejantananku. Serr. Serr.
Uenak sekali. Aku heran agak
lama juga dia ini bermain di
wilayah sensitif ini. Tapi
biarlah, enak ini. Hehe. Eh ketika sedang enak-enaknya
menikmati jari-jari lihainya
yang baru pertama kali
kunikmati sensasi kenikmatan
tiada tara ini berlangsung tiba
mulai naik ke arah pinggang. Agak kecewa juga, tapi
kutahan biarlah dia
menyelesaikan pekerjaannya
sesuai dengan prosedur
standar pemijatan yang dia
praktekkan. Begitu selesai dengan leher
belakang sebagai bagian
teratas yang dirambahnya,
tiba-tiba dengan 'cool'-nya
memerintahkan untuk
telentang. Wah kacau ini. Bisa ketahuan nih kalau adikku
ternyata telah terjaga. Tapi ya
sudahlah biarkan segalanya
berlalu dengan alamiah. Yang
sudah telanjur tegak biarlah
begitu. Hehe. Mulai lagi Si Ibu dari bawah
yaitu bagian depan telapak
kaki. Mulai saat ini sudah tidak
mampu lagi kunikmati pijatan
dari detik ke detik dan setiap
inchi anggota tubuhku. Aku hanya memikirkan apa yang
akan dia lakukan ketika sudah
merembet ke arah paha. Gara-
gara pikiranku sudah terpandu
oleh kerja hormon
testosteronku maka jelas sudah, adikku semakin percaya
diri untuk mengeras sebelum
sentuhan terjadi. Akhirnya tiba juga saat-saat
yang kunantikan. Rupanya
teknik yang dia lakukan di
bagian pantatku tadi
dipraktekkan juga di bagian
depan. Aduh Mami, enaknya minta ampun, eh nambah.
Sempat kutatap wajahnya,
kulihat sekilas-sekilas dia
melirik adikku. Hmm rupanya
dia ingin tahu efek pijatannya
apakah membuahkan hasil atau tidak. Dan tidak salah dia.
Sukses besar. Bahkan si adik
telah sedikit menitikkan
cairan. Ketika itu dia mencuri
pandang ke aku. Aku
menangkapnya. Mulai kuamati
wajahnya untuk melihat lebih
jelas seperti apa sebenarnya
tampang Ibu ini. Biasa aja. Tidak menarik. Bahkan sudah
ada beberapa kerutan. Sedikit.
Tidak terlalu muluslah
wajahnya. Tapi tidak
berpengaruhlah itu karena
nyatanya adikku tetap saja berdiri kayak tonggak, sedikit
miring karena gravitasi. Lagi asyik-asyiknya melayang-
layang imajiku akibat aksi
pijatan-pijatan yang berbentuk
lingkaran-lingkaran itu tiba-
tiba rambahannya sudah
menuju perut. Ah. Sedikit down. Sedikit kecewa. Tunggu
dulu, rupanya ketika di perut
masih ada harapan untuk
mendapatkan sentuhan-
sentuhan dahsyat itu. Ketika
gerak maju-mundur di perut dengan formasi melingkar
luar-dalam juga, ternyata
setiap mundur gerakannya
dibablaskan sehingga si adik
tetap bisa menikmati
sentuhan-sentuhan. Bedanya sekarang yang mendapatkan
anugerah adalah bagian
kepala adik. Sip. Sip bener ini.
Kok ya ada tukang pijat
sehebat ini. Apakah karena
sudah ibu-ibu maka pengalamannya memijat
bertahun-tahun yang
membuatnya menjadi piawai
begini? Mustinya iya. Lalu, akhirnya pijatan di akhir
bagian dada. Begitu selesai.. "Mau diapain lagi Den?" "Maksud Ibu?" Tukasku. Tersenyum simpul dia dan..
Tahu-tahu tangannya pura-
pura pijat-pijat lagi di
selangkangan tetapi dengan
titik kontak gesekan ke 'adik'
semakin besar dan lama. "Oh tahu aku maksudnya",
pikirku. Tanpa kujawab mulai kuelus
punggungnya (dia duduk di
pinggir ranjang dengan
membelakangi). Dia diam dan
mulai berani hanya mengelus
khusus adikku saja, tidak lagi pura-pura menyentuh bagian
lain. Kusingkap pelan kaosnya.
Astaga, rupanya kondisi
dalamnya terawat mulus. Tak
kusangka padahal sudah
seumur itu. Menggelegaklah kelelakianku. Tanpa terkontrol
lagi aku yang tadinya telentang
bangkit duduk sehingga
punggungnya berhadapan
dengan tubuh depanku dan
tanganku yang kiri menyingkap kaosnya lebih ke
atas lagi sementara yang
kanan ke depan menjamah
sang.. Tetek. Dia sengaja mencondongkan
dirinya ke arahku agar lebih
mepet. Kulepas kaosnya dan
dibantu dia sehingga sekarang
setengah telanjang dia. Eits!
Bulu keteknya nggak dicukur. Gairahku malah semakin
meledak, kubalikkan badannya
agar menghadapku. Dia
menunduk mungkin malu atau
minder karena umur atau
ketidak cantikannya, entahlah, yang pasti dia telah dengan
ahlinya melepaskan 'nafsuku'
dari kandangnya. Kurebahkan
dia dengan masih tetap pakai
BH karena aku lebih suka
menjamah teteknya dengan cara menyelinapkan tangan. Kuserbu keteknya yang berbulu
agak lebat itu (kering tanpa
'burket', kalaupun 'burket' toh
nafsuku belum tentu turun)
sambil terus meremas tetek.
Kutindih dia. Celana jeans masih belum dilepas.
Kususupkan tangan kananku
ke dalamnya. Menyentuh
veginya. Basah. Kupindahkan
serangan ciumanku ke
lehernya. Mendesah. Lalu mengerang-mengerang lembut
dia. Kehabisan nafas aku,
ketika kutarik kepalaku naik
untuk mengambil udara ditarik
lagi kepalaku. Ah rupanya 'G-
Spot'nya ada di leher belakang telinga sebelah kanan. Kuhajar
lama dengan dengusan napas
hidungku di wilayah itu.
Semakin liar polahnya. Tangan
kananku semakin dibasahi
dengan banyak cairan. Kulepas tanganku dan kusuruh dia
bangkit. "Lepaskan BH dan celana ya". Tanpa tunggu lama wajahnya
yang sudah merah merona itu
mengangguk dan cepat-cepat
semua yang kuingin lepas
dilepasnya. Kupandangi
sebentar teteknya, masih lumayan bulat. Kupandangi
veginya, wow alangkah
lebatnya. Kurebahkan lagi
dengan segera. Kutindih lagi
dia. Mengerang hebat. Nafasku
memburu berat. Kukangkangkan pahanya. Dan
bless.. Rudalku telah
menghunjam 'vegi'nya yang
telah banjir itu. Kusodok-sodok
sekuat tenaga. Semakin keras
erangannya. Kuseret pahanya ke pinggir ranjang, dengan
berdiri kuangkat kakinya
menumpang di pundakku,
kuarahkan kembali rudalku
menuju veginya yang lenyap
ditelan jembut. Kusibakkan terlebih dulu, lalu bless.. Bless. "Argh.. Arghh.. Yang cepeth
Denn Arghh.. Kencangin laggih
Denn.. Auhh.. Ahh.." Menjelang 10 menit mulai
terasa hangat adikku. "Akkhu.. Sudahh mauu..
Kelluaar.. Bikk.. Ahh.. Ahh". "Akkh.. Bibikh.. Jugah.. Denn.
Ahh.. Argh". Dan tanpa dapat dibendung
lagi jebollah lahar panas dari
rudalku menyemburi
lembahnya yang rimbun itu.
Pada saat yang bersamaan.
Sensasi kimiawi dari surga telah mengurasku menuju
keletihan. Entah kenapa
badanku yang sebelumnya
sudah letih banget ternyata
masih mampu mengeluarkan
tenaga sebesar ini. Ibu ini memang lihai. Luar biasa
kuakui. Setelah berbaring-baring
sekitar 15 menit Si Ibu minta
ijin ke toilet untuk bersih-
bersih diri. Kusiapkan amplop
untuk memberinya kompensasi
atas jasa kenikmatan luar biasa yang baru sekali ini
kurasakan seumur hidupku.
Tanpa dibukanya amplop itu
sambil mengucapkan terima
kasih dengan sopan, dia keluar
kamar setelah mengenakan jaketnya kembali. Sejak mengenal kenikmatan
'pijat hotel' itu, aku mulai
sering mencoba-coba. Di kota B
banyak sekali panti-panti yang
berkedok pijat namun
sesungguhnya yang ditawarkan adalah lebih dari sekadar pijat.
Awalnya kucoba yang muda-
muda dan cantik, akhirnya aku
kembali mencari yang telah
senior karena yang masih
muda kuanggap belum banyak pengalaman dan tidak banyak
kenikmatan yang kuraih. Di
samping itu lebih aman secara
kesehatan dengan yang tua
karena jarang dipakai,
sementara yang muda dan cantik laris diantri banyak pria
dari berbagai lapisan dan
dengan kondisi kesehatan
yang sulit terkontrol pula. Demikianlah kisah
keperjakaanku yang hilang di
tangan sang Ibu Pemijat. Aku
tidak menyesal. Bahkan malah
sulit melupakannya. Yang
kusesali adalah mengapa kenikmatan yang sedemikian
dahsyatnya baru kuketahui
setelah setua ini.
0 komentar:
Posting Komentar