Kamis, 31 Juli 2014

Mbak Juminten (Cerita Dewasa17+)

Namaku Agus, 28 tahun,
kisah ini terjadi 3 tahun lalu ketika aku memulai
karir baru sebagai auditor di PTPN IV di kawasan
perkebunan Teh di Jawa Barat.
Aku tinggal seorang diri di rumah dinas mungil dan
asri semi permanen di sekitar kebun. Untuk
keperluan bersih2 rumah dan mencuci pakaian aku
mempekerjakan seorang pembantu harian, mbak
Juminten.
Wanita ini berumur 44 tahun, hitam manis, tinggi
skitar 160 dan tubuhnya sedikit gempal. Mbak
Juminten asli Solo, dia menikah dan ikut suami yg
bekerja di perkebunan ini. 5 tahun yg lalu suaminya
wafat dan meninggalkan seorang balita perempuan
berumur 5 tahun. Mbak Juminten mengontrak
rumah kecil di desa sekitar perkebunan bersama
ibu mertuanya yg sdh tua.
5 bulan mbak Juminten melayani keperluanku dgn
baik, meski agak pendiam dan memang kami jarang
bertemu kecuali di akhir pekan. Gaji yg aku berikan
sebenarnya diatas pasaran, ttp mungkin karena
besarnya kebutuhan beliau sesekali meminjam uang
dariku. Belakangan mbak Juminten meminjam uang
lebih besar dari biasanya, setelah aku tanya dgn
detail akhirnya dia mengakui telah terjebak rentenir
akibat kebiasanya membeli togel dan arisan.
Tidak mengerankan, hanya beberapa bulan berlalu
mbak Juminten telah meminjam uangku lebih dari 2
jt, dan pada usahanya meminjam terakhir aku
menolaknya dengan halus.
Pagi itu dia sangat bingung dan panik, dengan
meneteskan air mata beliau mencoba terus
memohon utk memberinya pinjaman sekitar 1,5 jt
utk menutupi tuntutan hutang dari bandar judi togel
di desa.
Aku kembali menolak dengan tegas, dan mbak
juminten terus terisak.
Aku memperhatikan wanita paruh baya ini dgn
seksama, wajahnya seperti kbanyakan wanita jawa
pada umumnya,tdk cantik tp aku akui masih terlihat
lebih muda dari umurnya. Dan sebenarnya selama
ini juga aku sesekali melirik tubuh bawahnya yg
msh kencang dan bahenol walau pikiran kotorku tdk
melangkah lebih jauh.
Semalam, aku dan beberapa temanku sempat iseng
nonton film blue sambil makan sate kambing dari
warung makan Pak Kirun di ujung desa dan minum
beberapa botol anker bir.
Pagi itu terasa akumulasinya. Kesadaranku belum
begitu pulih.
Aku mencoba menepis pikiran itu, bagaimanapun itu
bukan diriku yang sebenarnya. Mbak Juminten juga
jauh dari tipe wanita yg aku inginkan. Terlebih aku
takut dengan akibat yg bisa saja terjadi. Bagaimana
kalau dikemudian hari kenekatanku akan berbalik
menjadi bencana utk diriku dan karir.
Pikiranku masih silih berganti antara pertimbangan
kotor dan waras. Mbak Juminten masih duduk
bersimpuh di depanku sambil melelehkan air mata.
Ruangan menjadi sunyi. Well, aku tidak mungkin
tega menolak permohonanya, tapi setidaknya dia
harus belajar utk berfikir panjang.
“Jangan duduk di lantai mbak, dikursi aja, saya jadi
gak enak” aku memulai bicara.
“Nggih Den..”
Dia bangkit untuk berdiri,bagian bawah pada daster
lusuh itu sedikit tersingkap ketika dia berdiri, ada
bagian yg tidak sengaja menyangkut pada tonjolan
kepala peniti pada kancing terbawahnya,sebagian
pahanya yang besar dan lututnya terkuak
dihadapanku beberapa detik. Buru2 dia menariknya
kebawah begitu tersadar. Pikiranku kembali kacau.
“Hmm…bingung saya mbak..”Jawabku, kepalaku
masih terasa pusing hasil minum2 semalam, aku
menekan sisi kiri kepalaku.
“Kenapa den, pusing?” Tanya mbak Juminten.
“Iyah, semalem begadang sm temen2..” Jawabku.
“Mbak ambilin aer putih sebentar..”Serunya sambil
segera berlalu ke dapur.
Sekelebat aku masih sempat melihatnya melangkah
pelan, setan makin kuat mempermainkan pikiranku.
Bongkahan pantat itu bergoyang2 dibalik daster,
mungkin pakaian dalamnya sdh sempit, dan
bayangan tentang pahanya yg td sempat terlihat itu
makin menggangguku.
“Makasih mbak” ujarku ketika menerima segelas air
putih dan meminumnya perlahan.
Mbak Juminten masih berdiri di depanku,
menungguku selesai minum. Aku menyumpahinya
dalam hati, melihat tubuhnya lebih dekat seperti itu
pikiranku makin terpuruk.
“Duduk aja mbak, santai aja, kita bicarain dengan
tenang ” ujarku.
“Iya den..” Jawabnya pelan.
“Gak kebanyakan mbak mo minjem segitu?, terus
terang saya keberatan, kayaknya yg kemaren2
sudah cukup..” Ujarku memulai kembali
pembicaraan.
“Sebenernya utangnya sejuta tuju ratus den, tapi
mbak nambain pake simpenan dirumah, tolong
banget den, mbak sebenernya malu banget tp
kepaksa..”Jawabnya dengan suara lirih.
“Waduh..”Jawabku terputus.
Aku kembali terdiam, kepalaku masih terasa pusing.
Aku menatap pemandangan luar dari jendela.
Sebenarnya tidak jadi soal utk soal jumlah uangnya,
cuma sisi gelapku masih mencoba meyakinkanku
utk mengambil kesempatan.
Mbak Juminten menatap ke lantai, pikiranya masih
kalut. Dia menanti jawabanku dengan putus asa.
Aku akhirnya menyerah, biarlah, ini utk terakhir aku
membantunya, dan berharap dia segera pulang agar
sesuatu yg terburuk tidak terjadi pagi ini.
“Okay mbak, sebenarnya ini berat buat saya..”
Ujarku.
“Mbak rela ngelakuin apa aja den supaya den
percaya mbak mau balikin uangnya..”Sergahnya.
“Apa aja..” Waduh, kata2 itu sangat menggelitik
benakku. Perempuan bodoh, seruku dalam hati.
“Ngelakuin apa aja maksudnya apa nih
mbak..”Tanyaku sambil tersenyum.
“Apa aja yg den agus minta mbak
kerjain ..”Jawabnya lugu.
“Selain urusan rumah memang apa lagi yg bisa
mbak kasih ke saya?” Kalimatku mulai menjebak.
“Hehe..apa aja den..” Jawabnya sambil tersipu.
“Mbak..mbak..hati2 klo ngomong..”Aku menghela
nafas menahan gejolak batin.
“Maksudnya apa den..”Tanyanya heran.
“Saya ini laki2 mbak, nanti kalo saya minta
macem2 gimana..”Lanjutku mulai berani.
“Mbak gak paham den..” Wajahnya masih bingung.
“Yaa gak usah bingung, katanya mau ngelakuin apa
aja..”Godaku.
“Yaa sebut aja den, nanti mbak usahain kalo
memang agak berat dikerjain..”Jawabnya.
“Walah..mbak..mbak..yaa sudah saya ambil
uangnya sebentar, tapi janji yah dikembaliin
secepatnya”aku berusaha menyudahi percakapan
ini.
“Makasih den..makasih banget..”Jawabnya lega.
“Tapi emangnya den Agus tadi mau ngomong
apa,mungkin mbak bisa bantu?”Lanjutnya.
Aku yg tengah berjalan menuju kamar terhenti, kali
ini pikiranku sudah tidak terkontrol lagi, kalimat itu
seperti akan meledak keluar dari mulutku.
Aku membalikan badan, menatapnya dengan
seringai aneh.
“Mbak yakin mau nurutin apa aja kemauan
saya?”Sergahku.
“Iya den, ngomong aja..”Jawabnya.
Dasar perempuan bodoh ujarku dalam hati.
” Saya kepengen mbak masuk ke kamar
saya..”Kalimat selanjutnya seperti tercekat
ditenggorokan.
“Terus Den?” Tanyanya penasaran.
” Mbak temenin saya tidur..”Ucapanku serasa
melayang diudara, jantungku berdegup kencang.
Wajahnya sontak kaget dan bingung. Aku tau dia
pasti akan bereaksi seperti itu, tapi salahnya
sendiri. Aku sudah berusaha keras utk menahan
diriku utk tidak berniat aneh pada dirinya tapi
kesadaranku belum penuh utk melawan kegilaan ini.
“Maksudnya..maksudnya apa den..mbak kok jadi
takut..”Wajahnya mulai memucat.
“Iya temenin saya di ranjang, saya lagi kepengen
gituan dengan perempuan sekarang..”Jawabku, aku
tau mukaku memerah.
“Mmm…tapi..tapi itu kan gak mungkin den..”Ujarnya
dengan suara pelan.
“Mungkin aja kalo itu syaratnya mbak mau pinjem
uang..”Jawabku .
Ruangan kembali sunyi, mbak Juminten tertunduk,
menggenggam kedua tanganya dengan gelisah. Ada
rasa sesal telah mengucapkan kalimat tadi, tapi
sudah terlanjur. Aku sudah tidak mungkin
menariknya, sekarang biar sisi gelapku yg
bertindak.
“Gimana mbak?” Tanyaku sambil kembali duduk
dikursiku.
“Tapi itu gak mungkin Den..gak mungkin..mbak
bukan perempuan kaya gitu..” Jawabnya, suaranya
kembali lirih.
“Hhhh…” Aku menghela nafas berat.
Mbak Juminten wajahnya kembali muram, matanya
menatap ke luar pintu, kosong, sperti berpikir keras.
“Mbak gak nyangka kok aden bisa2nya minta yang
kaya gitu..mbak ini sdh tua..gak pantes ..”
Aku diam beberapa saat. Ada rasa amarah tanpa
alasan bermain dipikiranku.
“Itulah laki2 mbak..” Hanya itu kalimat yg bisa
meluncur dari mulutku.
Dia mungkin menyesal telah mengucap kata2 yg
tadi memancing kenekatanku. Tapi situasinya sudah
terjepit, wanita lain mungkin akan menghardiku dan
segera pergi menjauh, sementara mbak Juminten
tidak punya pilihan lain.
“Sekarang terserah mbak, saya tetep kasih uang yg
mbak minta, kalo mbak mau menuhin kemauan
saya okay, gak juga silahkan..”Jawabku pelan
sambil melangkah ke kamar.
Aku kembali ke ruang tamu dengan sejumlah uang
ditangan. Aku meletakanya pelan di atas meja kecil
di depannya. Wajahnya masih terlihat tegang, dia
hanya melirik sebentar ke arah meja kemudian
kembali tenggelam dalam pikiranya.
Kami kembali sama2 membisu. Sesekali aku
menatapnya, dia menyadari tengah diperhatikan
olehku.
“Den…apa aden yakin …?” Tiba2 dia berucap.
“Sebetulnya saya gak tega mbak, tapi entahlah..itu
yg ada dalam otak saya sekarang..terserah mbak
de..”Jawabku dengan tenang.
Matanya berkaca2 menatap langit2 ruangan,
perasaanya pasti tertekan. Dia kembali terdiam.
“Hmmmm…baiklah Den..mbak gak tau lagi mo
ngomong apa, atau harus kaya mana
sekarang..kalo itu maunya aden..terserahlah..jujur
aja mbak teh takut banget..mbak bukan prempuan
gitu den..mbak memang janda..tapi bukan..”
“Sudahlah mbak, klo memang bersedia, skarang
saya tunggu di kamar, kalo keberatan, silahkan
ambil uangnya dan segera pulang..”Ujarku tegas,
kemudian aku bangkit berdiri dan melangkah ke
kamar.
Aku membaringkan tubuhku di kasur, trus terang
aku pun dilanda ketakutan.Aku tengah dilanda
gairah, tapi was2 dengan kemungkinan buruk yg
bisa saja terjadi.
Butuh beberapa menit menunggu, pintu kamarku yg
memang tidak terkunci perlahan2 bergerak terbuka.
Mbak Juminten melangkah masuk sambil tertunduk,
terlihat sangat kikuk.
Dia berdiri menatapku di samping ranjang,
tatapanya penuh arti. Well, kalo saja aku tidak
terlanjur berpikiran mesum mungkin aku segera
berlari keluar kamar, aku merasakan takut yg sama
seperti yg dirasa mbak Juminten.
Tapi aku berusaha tenang, aku bangkit dan duduk
di pinggir kasur.
“Mbak yakin mau ngelakuin ini”?tanyaku.
“Hhh..sekarang smuanya terserah aden
aja..”Jawabnya pasrah.
Aku menatapnya lekat2, pandanganku menelusuri
seluruh tubuhnya, seperti ingin menelannya hidup2.
Tangan kananku meraih jemari kiri tanganya. Aku
memegangnya pelan, jemari itu terasa dingin dan
gemetar.
Memang sudah harus kejadianya seperti ini, apa
lagi yg aku tunggu ujarku dalam hati. Makin cepat
makin baik, setan itu membisiki bertubi2.
Aku menarik tangan itu agar tubuhnya mendekat.
Niatku sebelumnya ingin memeluknya terlebih
dahulu, tapi nafsuku sudah tidak tertahankan. Aku
segera meneruskan dorongan tubuhnya yg limbung
terhempas ke atas kasur.
Begitu dia terhenyak di sampingku, aku langsung
menerkamnya, menghimpitnya dibawah tubuhku
dan ciumanku langsung mendarat dibibirnya.
Aku tidak memberikanya waktu utk berpikir, aku
melumat2 bibirnya, menciumi dengan kasar
lehernya dan trus bergerak menjelajahi bagian
dadanya.
Nafasnya tersengal, wajah itu masih terkaget2
dengan apa yg sedang aku lakukan. Jemariku
segera beraksi, aku menjamah bongkahan pahanya
dibawahku, daster itu telah tersingkap ke atas.
Aku seperti kesetanan menciumi pahanya yg besar,
mengecup berkali2 selangkanganya dan jemari
tanganku yg lain langsung meremas buah dadanya.
Gerakanku cepat terburu nafsu.
Sebentar saja seluruh tubuhnya telah ku jamah. Aku
masih menciuminya membabi buta. Tak lama
kemudian aku bergerak cepat membuka lepas
pakaianya.
“Den..jangan den..sudaah..” Serunya ketika aku
kembali menciuminya,hanya hanya bra dan celana
dalamnya yg tersisa menutupi tubuhnya. Seraya
kedua tanganya berusaha mendorong tubuhku.
Aku tidak memperdulikan perlawananya. Aku
menduduki perutnya sambil kedua tanganku
bergerak melepas bajuku.
Nafasku memburu, yg keluar dari mulutku hanyalah
desahan penuh nafsu angkara murka. Wanita ini
makin ketakutan melihatku.
Kemudian aku bangkit berdiri di atasnya. Kedua
tanganku bergerak cepat melepas celana pendek
dan celana dalamku. Mbak Juminten menangis.
Aku tidak perduli lagi, kejantananku telah berdiri
mengacung di atasnya, mbak Juminten makin panik
melihatku. Jemariku bergerak2 mengocok2 cepat
batang penisku sehingga semakin keras berdiri,
matanya terpejam basah.
“Den..sudahlah den…jangan..sudahlah..mbak gak
jadi pinjem uang..sudaaah..”Jeritnya ketika aku
kembali menduduki perutnya. Dia berusaha meronta
tapi kedua tanganku dengan kuat menahan
tanganya pada kedua sisi bantal.
“Sudah telat mbak” Suaraku bergetar
menghardiknya.
Aku memaksa kedua paha sekel itu terbuka, dia
masih berusaha menutupnya rapat. Kami bergumul
beberapa saat, begitu ada celah aku segera
menekan kuat selangkanganku di dalam jepitan
pinggul mbak Juminten.
Dengan gerakan kasar aku menarik ke samping
paha kirinya. Tanganku langsung bergerak
menuntun penisku ke arah vaginanya.
Aku sempat salah memposisikanya, dorongan
penisku menggesek keluar di atas permukaan
kemaluanya. Pada percobaan kedua kepala penis
itu langsung menusuk masuk.
Mbak Juminten menjerit terperikan oleh rasa
sakit..Wajahnya meringis,matanya menyipit
menahan perih diselangkanganya. Dia sangat
terkejut ketika benda itu menerobos masuk.
“Ahhh…shhh…oohhh..” Desahku,terasa nikmat
menjalar melalui kejantananku hingga naik ke otak,
aku seperti terbakar. Melihat kemaluan mbak
Juminten yg berbulu lebat membuatku makin
bernafsu. Tubuh kami masih terdiam kaku beberapa
saat.
Aku sedikit menarik penisku dan menusuknya
kembali di dalam, mbak Juminten kembali
tersedak,urat lehernya menegang, matanya
menatap ke arah selangkangan, lelehan air mata itu
masih mengalir dipipinya.
Aku kembali mengulanginya, kali ini aku
mendorongnya lebih keras. Mbak Juminten makin
menjadi tangisnya.
“Ouhh..huuhuu..huhuu..deen..sudah denn…
sudaaah..” Rintihnya sambil memegang bahuku
keras.
….Selanjutnya aku lupa diri, aku meliuk2 menyodok
selangkanganya. Penuh tenaga, makin lama makin
cepat gerakanku. Bunyi derit ranjang kayu itu
menambah seru suasana.
Wanita ini memiliki tubuh yg cukup menawan. Meski
sudah berumur tapi kulitnya masih kencang,
bokongnya tebal dan bahenol. Pahanya yg besar itu
mulus meski tidak putih, melingkari pinggulku.
Aku beringas menghempas2 tubuhnya di bawahku.
Mbak Juminten telah berhenti menangis, matanya
terpejam, hanya terdengar suara nafasnya yg
terputus2, buah dadanya bergoyang2 mengikuti
gerakanku. Wanita ini sudah pasrah dengan apa yg
tengah terjadi.
Bahkan ketika aku merubah posisi, mengangkat
kedua pahanya ke atas, menahanya tergantung di
udara dengan kedua lenganku,kembali penisku
terbenam,mbak Juminten hanya diam. Hujamanku
makin bebas dan dalam menjajah vaginanya yg
terkuak lebar.
“.. Plok..plok..plok..” Suara gesekan selangkangan
itu terdengar jelas ditelingaku.
Kemaluan mbak Juminten yg basah makin
menghangatkan batang penisku di dalam. Sesaat
lagi aku sudah tidak kuat menahan desakan, aku
seperti kesetanan menggenjotnya. Mbak Juminten
seperti mengerti apa yg akan segera terjadi.
“Den..tolong.. jgn keluarin di dalem den..tolongg…”
Serunya memohon dengan suara gemetar.
Aku tidak menjawab, aku tengah fokus ingin
menuntaskan aksiku. Sedikit lagi akan sampai.
Mbak Juminten memekik menyebut namaku saat
tusukanku tiba2 berhenti, tubuhku tengah
meregang.
“Deenn..cabut deen…” Serunya panik sambil
menekan perutku ke belakang.
Aliran sperma itu bergerak naik mendekati pangkal
penisku, jemariku telah kuat mencengkram sprei.
Beruntung aku masih sempat menarik batang
penisku keluar dan tepat sedetik kemudian
semprotan pertamanya melompat keluar.
“Ahhhhh…sshhhhhh…mbaaak…aduuhhhh…..” Jeritku
panik.
Belasan kali cairan hangat itu menghantam
sebagian perut mbak Juminten. Aku terpapar
kenikmatan luar biasa, mataku terpejam beberapa
saat hingga akhirnya semuanya usai.
Mbak Juminten melihat proses akhir tadi dengan
seksama, dia memperhatikan wajahku yg
meregang, matanya was2 melihat penisku
memuntahkan cairan kental itu membaluri perutnya.
“Sudah den..sudah puas ?” Ujarnya beberapa saat
ketika aku masih tersengal diam di atasnya, air
mata itu kembali mengalir dari pinggir
pipinya.Kalimat itu serasa menamparku.
Rasa penyesalan perlahan2 merayap . My gosh,
aku baru saja menodai perempuan ini. Bagaimana
mungkin hingga aku bisa sebejat itu.
“Maafin saya mbak..saya bener2 khilaf..” Jawabku
bingung.
Aku beringsut mundur, memungut seluruh
pakaianku, melangkah ke kamar dan
meninggalkanya terbaring di ranjang.
Aku melepas kekalutan pikiranku dengan
menghisap sebatang rokok di ruang tamu.
Mudah2an mbak Juminten tidak memperkarakanku,
menganggapnya selesai hanya di sini. Aku
menepuk2 keningku menyesali kebodohanku.
Mbak Juminten keluar kamar beberapa menit
kemudian. Matanya sembab, dia duduk di kursi di
sampingku, tanpa bicara. Suasana hening, aku tidak
berani menatapnya atau memulai pembicaraan.
“Ini uangnya saya ambil den, nanti diusahain
dikembaliin kok..” Ujarnya pelan, suaranya
berat,hidungnya seperti tersumbat cairan.
“Iya mbak, gak usah dipikirin soal
kembalianya..dan..maaf soal yg tadi..”Jawabku
tanpa menoleh kepadanya.
“Gak papa den..gak papa..”Jawabnya, tangisnya
kembali pecah sedetik kemudian, bahunya
terguncang2, aku hanya bisa terdiam.
“Sekali lagi maaf mbak..”
Dia mengangguk pelan sambil menunduk,tetes2 air
mata itu masih berjatuhan dipangkuanya. Aku
meraih uang itu, melipatnya,kemudian
memasukanya ke dalam kantung dasternya.
Jemariku menyentuh pangkal tangannya,
menepuknya pelan kemudian tanpa bicara aku
melangkah masuk ke kamar sambil menutup pintu.
Aku tidak sanggup lagi melihat wanita itu menangis.
Aku terbaring,penat terasa, pinggangku nyeri.
Aku melihat Jam di dinding, pukul 2 siang, aku
mungkin telah tertidur lebih dari 2 jam. Perutku
sangat lapar, aku melangkah keluar kamar. Mbak
Juminten mungkin telah lama pulang. Aku kembali
didera pikiran buruk. Dendamkah dia padaku, bisa
saja tiba2 orang sekampung muncul mendatangiku
dengan tuduhan cabul atas laporan darinya.
Hhhh..sudah terjadi, yg nanti urusan nanti.
Aku pergi kerja agak telat keesokan harinya, aku
sengaja menunggu mbak Juminten datang,
memastikan bahwa kekawatiranku tidak terjadi.
Jam 8 mbak Juminten tiba, perasaanku tidak
karuan ketika dia membuka pintu depan.
“Loh belum kerja den?” Tanyanya, wajah itu terlihat
datar, malah ada senyuman kecil menghias
bibirnya.
“Ini dah mau jalan mbak, sengaja nunggu mbak
dateng..”Jawabku berusaha tenang.
“Hehe..kenapa, takut saya gak bakal dateng lagi
ya?” Tertawanya membuatku lega.
“Iya mbak..takut aja, …mm..”
“Mm.. Apa den..?” Lanjutnya sambil masih berdiri di
depanku.
“Maaf yg kmaren mbak…”Jawabku.
“…..ya ndak papa den…mmm..yo wis..lupain aja..”
Serunya, dia melangkah ke dapur tanpa menunggu
reaksiku selanjutnya.
Yah sudahlah, yg jelas tidak akan ada masalah, dia
sudah menerima perlakuanku kemarin. Aku segera
berlalu menuju kantor.
Hari2 selanjutnya berlangsung normal, kami hanya
bertemu di akhir pekan, tidak ada bahasan lagi soal
peristiwa itu. Mbak Juminten tetap melakukan
pekerjaanya dengan baik. Kami hanya sesekali
mengobrol basa basi.
Satu bulan berlalu, aku mulai melupakan peristiwa
itu. Kerjaanku makin banyak mendekati akhir tahun.
Aku juga makin sering menghabiskan waktu di luar
bersama teman2 di akhir pekan.
Hingga pada suatu pagi di hari sabtu aku terbangun
dan terjebak dalam lamunan tentang mbak
Juminten. Malam itu aku mimpi erotis, dengan mbak
Juminten, cairan sperma itu sebagian telah
mengering memenuhi celana dalamku.
Dalam mimpi itu aku menggauli mbak Juminten dari
belakang, bongkahan pantat itu terpapar jelas dalam
penglihatanku. Damn it, kenapa hal ini kembali
menggangguku.
Jam 9 pagi, wanita itu telah datang seperti
biasanya. Aku baru saja selesai mandi dan tengah
bersiap utk sarapan.
” Dah sarapan mbak? Ayo ini saya tadi beli dua
bungkus nasi uduknya, satu utk mbak..” ujarku
sambil tersenyum ramah.
“Makasih den..nanti aja, mbak mau beres2 cucian
pakaian dulu..” Jawabnya.
“Santai aja dulu..temenin saya sarapan dulu..” Ntah
kenapa pagi itu aku agresif.
“Nggih den, sebentar ambil piring dan sendok
dulu..” Jawabnya seraya melangkah ke dapur.
Aku melihat tubuhnya dari belakang, rok merah
sepanjang bawah betis itu cukup jelas mencetak
lekukan pinggul, pantat dan pahanya. My gosh,
darahku berdesir, mimpi semalam membuat
hayalanku makin parah.
Otaku segera bereaksi, mencari jalan pintas,
berandai2 seandainya hari ini aku kembali bisa
memperdayainya. Aku segera menepis pikiran
buruk itu.
Mbak Juminten telah kembali, duduk bersebrangan
di depanku dan telah bersiap utk makan.
“Gimana kabar orang rumah mbak, sehat semua?”
Tanyaku basa basi.
“Sehat den…” Jawabnya santai.
“Anaknya kapan mulai sekolah mbak, taun depan?”
“Iya den, rencana taun depan..mdh2an rejekinya
lancar..”
“Yaa selagi saya di sini tetep aja kerja di sini
mbak..klo mbak mau tambahan, mungkin coba
mulai masak katering utk anak2 sini, kemaren ada
obrolan kita di sini soal itu. Pada bosen katanya
makan masakan luar, lebih boros juga…” Lanjutku.
“Wahh bagus tu den..tapi perlu modal, ibu mertua
saya pinter masak..”Jawabnya semangat.
“Gampang soal modal, nanti saya pinjemin..klo mau
mulai depan mbak..nanti saya tawarin temen2
saya..”
“Gak enak klo dipinjemin melulu, kasian den Agus..”
Jawabnya.
“Yaa klo utk bisnis kenapa gak mbak, sama2
bantu..saya jg nanti minta harga diskon
dong..hehe..” Jawabku.
“Hehe..untuk den Agus gratis aja..lha uangnya kan
dari aden jg..”
“Yaa gak boleh gitu mbak, bisnis tetep
bisnis..”Jawabku.
“Duh saya makin banyak utang budi dong
den..”Lanjutnya.
“Jgn berpikir gitu..saling bantu wajar aja mbak..”
“Yo wis, nanti tak bilangin sama ibu mertua, dia
pasti seneng..”
“Iya mdh2an jalan mbak..semangat yg
penting..”Jawabku.
Obrolan pagi itu terasa menyenangkan, spertinya
dia benar2 melupakan kejahatanku waktu itu. Aku
merasa lega, walau dalam hati aku menginginkan
kehangatanya lagi. Pasti nanti ada jalannya, sabar
aja, setan itu kembali membisiki.
Minggu pagi, keesokan harinya, mbak Juminten
datang membawa anak perempuanya ke rumah.
“Maaf yaa den, si Rini saya bawa, mbahnya td pagi
dijemput ipar saya ke Solo, mau ada acara kawinan
sodaranya.”
“Yaa gak papa mbak, biar dia bisa maen di sini, hei
pa kabar cantik..” Seruku sambil tersenyum ramah
kepada anaknya.
Bocah itu tersipu dan bersembunyi dibalik kaki
ibunya.
“Saya mau jalan dulu ya mbak, ada acara kawinan
anak kantor..siang baru pulang..”
“Nggih den….monggo..” Jawabnya.
Aku segera berlalu, mbak Juminten terlihat manis
pagi ini, rambutnya terurai ikal menjuntai ke bahu.
Paduan kaos biru dan celana jeans ketatnya itu
membuatnya terlihat lebih muda.
Well..well..well..kapan kita bisa bisa berdua di
kamar lagi mbak, ucapku dalam hati.
Hujan turun dengan lebatnya sesampainya aku
kembali di rumah. Sebagian kemeja dan celanaku
telah basah kuyup.
“Waah keujanan den..ini dipake handuknya dulu,
nanti mbak bikinin aer panas..”Serunya ketika
membuka pintu.
“Makasih mbak..” Aku langsung berlalu ke kamar,
mengelap kepala dan tubuhku dengan handuk dan
mengganti pakaian.
“Rini kemana mbak, kok sepi..” Ujarku ketika duduk
diruang tamu.
” Barusan tidur di kamar belakang den..sudah
kenyang tidur dia..wah..kenceng ya
anginya..”Jawabnnya.
“Iya mbak, sudah lama jg gak ujan..”
“Ini mbak bikinin teh anget pake jahe
den..diminum..” Lanjutnya.
” mantep nih..makasih mbak..”Jawabku sambil
menerima cangkir dari tanganya.
Teh itu tidak terlalu lama mengepul, udara dingin
perkebunan ini membuatnya segera tidak begitu
panas lagi. Udara diluar gelap seperi senja. Angin
menerpa atap seng,menimbulkan suara berisik.
“Masih sibuk mbak, santai aja dulu duduk2 di
sini..”Ujarku melihatnya mondar mandir.
“Iya den, sebentar mau mindahin air panas ke
termos..”Jawabnya.
Tak lama dia menghampiriku dengan membawa
sepiring biskuit dan teh utk dirinya. Kami belum
memulai obrolan. Aku masih sibuk membalas sms
teman2ku.
“Mbak gimana kabarnya, urusan yg dulu itu sudah
selesai..” Ujarku memulai pembicaraan.
Dia sedikit terusik dengan pertanyaanku.
“Sudah den..mbak sudah kapok gak mau lagi maen
gituan..gak ada gunanya..”Jawabnya.
“Hehe..iya mbak, ngapain jg..dikerjain bandar aja
kalo togel sih..”Jawabku tersenyum.
“Uangnya nanti pelan2 mbak angsur yaa
den..maaf..”Lanjutnya.
“Gak papa mbak, santai aja, nanti klo kateringnya
lancar mbak bisa dapet tambahan..tenang aja..”
Jawabku.
“Makasih den..”
Kami kembali terdiam. Tiba2 aku tergelitik utk
bertanya tentang peristiwa dulu itu. Sedikit ragu jika
itu membuatnya tidak nyaman tapi kalimat itu
mengalir tanpa bisa kutahan.
“Mbak..maaf boleh saya nanya..”
“Boleh den..mo nanya apa..”Jawabnya.
“Yg kemaren itu..mbak gak marah dengan saya ?”
Lanjutku.
Dia terdiam beberapa saat,aura wajahnya berubah.
“Mmm..mbak ikhlas kok den..salah mbak
juga..sudahlah gak papa..”jawabnya pelan sambil
mengalihkan pandangan ke arah jendela.
“Boleh nanya lagi mbak..” Lanjutku.
“Monggo den..”
“Apa yg mbak rasa waktu itu,..mm..waktu di
kamar..” kalimatku makin menjebak.
“….mmmm…gimana ya..gak tau den..”Jawabnya,
wajahnya terlihat canggung.
” Sakit..atau jijik mbak..”
“Jijik kenapa..sakit sih iya..” Jawabnya pelan.
“..aden kok bisa begitu waktu itu..mbak ini jauh lebih
tua..kok bisa..” Lanjutnya.
” ..nafsu laki2 mbak..liar..kadang gak bisa
kontrol..”Jawabku.
“Soal tua sih gak jadi soal..jujur aja, mbak masih
menarik kok..”Lanjutku makin berani.
“Menarik apanya..aden masih muda..cari pacar
yang muda, cantik..gak susah..”Jawabnya.
“…well..saya masih belum tertarik utk pacaran lagi
mbak..”
” Apa yg aden pikir semenjak kejadian itu soal
mbak..”Tanyanya kembali.
” Maksudnya..?”
“Yaa apa aden pikir mbak ini jadi perempuan
gimanaa gitu di pandangan den agus..”
“Saya nyesel sesudahnya mbak, gak tega bikin
mbak gitu..yaa selanjutnya saya masih respek kok
sama mbak..”Jawabku.
“..mbak juga nyesel..”
” tapi kalo boleh jujur..maaf yaaa mbak..”
“Apa den..ngomong aja..”Jawabnya penasaran.
“.. Saya pengen ngulangin lagi..saya tau itu gak
mungkin..maaf yaa mbak..”Suaraku sedikit
bergetar, jantungku berdetak cepat.
“….mmm…apa yg aden cari..mbak seperti ini,
perempuan kampung, gak cantik..dah tua lagi..”
Wajahnya lekat2 menatapku.
” ..masih tetep menarik kok mbak..saya masih suka
inget2 kejadian itu..”Jawabku.
Mbak Juminten tersenyum tipis, aku penasaran apa
yg ada dalam pikiranya.
“Apa yg aden inget waktu kejadian itu..” Ujarnya.
“Yaa indah mbak..malem sabtu kemaren saya
sempet mimpiin mbak gituan sama
saya..sorry..”Jawabku.
“hehe..aden masih muda, wajar kalo pikiran ke arah
itunya masih kuat, jadi..”
“Sekarang jg lagi mikirin itu mbak..”Aku memotong
kalimatnya.
“..hmm…yaaa mbak berat hati utk begitu lg ..takut
den..”Jawabnya.
“Kalo saya minta tolong supaya mbak gak takut lagi
gimana..”Responku mencecar pikiranya.
“Yaaaa..gimana den..gak usah de..yg sudah yaa
sudah..”Jawabnya.
Aku paham dia tengah dilanda kebingungan, di satu
sisi dia segan menepis godaanku, di sisi lain dia
tidak ingin terjerembab dalam perzinahan
bersamaku lagi.
Aku menggeserkan dudukku mendekat. Tanganku
memegang jemari tanganya. Wanita ini terkesiap
dgn kenekatanku.
“Mbak..gak perlu takut..mbak bisa minta apa aja
dari saya..” Ujarku sambil menatap kedua matanya
lekat2.
” Jangan den..dosa….”Jawabnya ketakutan.
Tapi dia sudah terlambat, ciuman bibirku telah
mendarat di bibirnya. Aku memagut2 bibir itu pelan.
Wajahnya pucat pasi..antara kaget dan bingung
dengan apa yg dia tengah rasa. Aku kembali
menciumi wajahnya, bibir kami kembali bertemu,
tanganku telah melingkar dengan manis di lehernya.
Dia hanya terdiam..tanpa reaksi. Tidak ada
penolakan, aku makin berani merapatkan tubuhku.
Kali ini tidak hanya bibir dan sekitar wajahnya,
ciumanku mendarat di leher dan belakang
telinganya. Mbak Juminten bergidik, tubuhnya
merinding.
Mendung semakin gelap diluar, petir sesekali
menggelegar diiringi deru angin kencang. Aku
berdiri, kedua tanganku menggapai tanganya,
menariknya keatas kemudian membawanya
melangkah mengikutiku, ke arah kamar…
Mbak Juminten sama sekali tidak bereaksi, dia
kikuk mengikuti langkahku. Wajahnya takut2
melihatku ketika pintu kamar itu tertutup rapat.
Ruangan kamar cukup gelap, hanya sebagian tubuh
atas kami yg terlihat jelas. Tidak perlu lagi
berkata2, segera tuntaskan apa yg ada dalam hati.
Aku membimbingnya utk berbaring diranjang.
Wajahnya menatapiku tanpa henti,menanti kejutan2
selanjutnya. Aku kembali menciumi bibir itu, tidak
ada balasan berarti darinya. Seluruh leher dan
bagian dadanya yg tertutup kaos itu habis ku kecup.
Nafas mbak Juminten terdengar menderu.
Tidak perlu lagi basa basi, aku segera melepas
habis pakaian yg dikenakanya. Hanya tertinggal bra
dan celana dalam lusuh itu menutupi. Tubuhku pun
telah hampir telanjang, pakaianku berserakan di
lantai. Aku langsung menindih tubuhnya.
Mbak Juminten mendesah, jantungnya terdengar
cepat berdetak di telingaku, mulutku tengah puas
mencium dan menggigit2 payudaranya yg lumayan
besar.
Kulit kami saling menempel, bulu2 diperutku
mungkin membuatnya makin merinding. Tanganku
telah kesana kemari meraba tubuhnya, jemariku
lincah menggosok2 sekitar selangkanganya.
Penisku telah sedari tadi diruang tamu mengacung
keras, diranjang ini dia semakin garang menempel
dan kadang2 menggesek tepat ditengah2
selangkangan mbak Juminten. Dia makin terbuai
oleh rangsangan dariku. Wanita ini siap sedia untuku
hari ini, aku sangat beruntung.
Akhirnya kami sudah sama2 siap tempur. Vaginya
sudah terkuak lebar dan basah. Permainan lidahku
tadi di situ telah membuatnya tanpa sungkan2
merintih dan mencengkram erat kepalaku.
Pahanya terkulai lebar ke samping, aku sudah
bersiap menusuk. Sedikit demi sedikit batang itu
terbenam diiringi dengan rintihan mbak juminten
dan desis yg keluar dari mulutku. Kami berpelukan
erat ketika penis itu telah berhasil menyentuh dasar
vaginanya. Oh my gosh, nikmat sekali.
Kami kembali berpagutan, pelan2 aku menarik ulur
selangkanganku. Mbak Juminten hingga memeluk
pantatku merasakan sensasi itu.
“Nikmatilah mbak,nikmati yg sudah lama tidak kau
rasakan. Usiaku memang terlalu muda untukmu,
tapi aku sanggup memberimu kepuasan,” ujarku
dalam hati.
Aku ingin menikmati moment ini lebih lama, aku
mengaduk2 kewanitaanya perlahan dan lembut.
Suasana begitu romantis.
“Uhh..uhh..shhh..hhhh…” Mbak Juminten mendesah
setiap kali aku menusuk selangkanganya. Tanganya
lembut memeluk punggungku.
Kami terus berpagutan, pantatku meliuk2
menghantam. Makin lama gerakanku makin cepat.
Tenagaku seperti tidak habis membawanya pada
kenikmatan. Mungkin lebih dari 15 menit
berlangsung, mbak Juminten mulai kewalahan.
Jepitan pahanya makin kuat sementara pantatnya
tidak henti bergerak ke atas menyambut penisku,
nafasnya sudah tersengal. Mungkin tidak lama lagi
mbak Juminten mencapai klimaks.
“Buuuk..ibuuuk..di manaaa…rini pengen pipis..”
Tiba2 suara anaknya terdengar nyaring di depan
pintu kamar.
Kami yg tengah melambung terkesiap kaget dan
melepas pelukan. Sekejap saja kami telah berdiri,
saling bertatapan dalam kebingungan.
“Buuk…ibuuuk..”Lanjut bocah itu.
Damn it..aku menyumpah dalam hati.
“Iya sebentar naaaak..pipis aja di dapur..ada kamar
mandi di situ..ibu lagi beresin kamar..sebentar lagi
keluar..” Jawab mbak Juminten panik berusaha
memungut pakaianya yg berserakan di kasur.
“Iya buk..” Jawab bocah itu.
“Nanti baring aja lagi di kamar, ibu nanti
nyusul..”Jawabnya sambil berusaha meraih celana
dalamnya.
Aku menahan tanganya, “biar aja mbak..tanggung
sebentar lagi..” Ujarku.
“Jangan..nanti dia curiga..” Jawabnya menepis
tanganku.
“Nggak..sebentar lagi..tenang aja..”Seruku.
“Jangan Den..” Jawabnya, tapi kalimat itu terpotong.
Aku menarik tubuhnya, nafsuku sudah memuncak.
Aku mendorong tubuh telanjangnya menghadap
meja kecil di hadapan kami. Dengan sekali kibasan
seluruh benda2 kecil di atasnya berlompatan jatuh
ke lantai dengan suara yg berisik.
“Den..nanti den…sabar..” Jawabnya kebingungan.
Aku tidak memperdulikan ucapanya. Tubuhnya ku
dorong merapat ke pinggir meja, kedua kakinya aku
paksa untuk melebar, pantatnya aku tarik ke
belakang. Posisi mbak Juminten sudah menungging
di depanku, belahan pantat itu mempertontonkan
lubang anusnya.
Aku menjadi kian brutal, pantat besar dan bahenol
itu ku angkat, bagian vagina dan rambut2 halus itu
terpampang didepan selangkanganku. Penisku
langsung mendekat, langsung menghujam masuk.
Pemandangan dibawaku membuatku makin
bernafsu.Batang penis itu perlahan menghilang
diantara bongkahan pantatnya.
O gosh..nikmat sekali, aku mendesis2 menahan
geli. Segera saja tubuhku menyodok2 dengan kuat.
Tubuh mbak Juminten maju mundur terpapar
seranganku. Sebentar saja dia kembali merintih.
Permainan kami berlangsung cepat, kekagetan tadi
itu menambah selera, bunyi gesekan kemaluan
kami mengiringi. Mbak Juminten memutar2
pinggulnya berusaha segera meraih akhir
perjuangan. Peniskupun sudah seperti ingin
meledak.
Tubuhku semakin kuat menekannya kedepan, mbak
Juminten gemulai memutar pantatnya kesana
kemari, makin liar dan binal dan akhirnya dia
meraih klimaks.
“Uhhhh…uhhh…dennn….aduuuhh..uuhh..huhhu..huh
uuu..uuhh..” Jeritnya sambil terisak.
Kedua pahanya mengejang kaku,kepalanya hingga
terbaring dipermukaan meja sambil terus merintih
tiada henti. Cairan hangat kewanitaanya membasahi
penisku di dalam.
Aku ingin segera merasakan hal yg sama,
sodokanku makin cepat melabraknya.Beberapa kali
ayunan akhirnya pantatku berhenti bergerak
bersiap meregang, tanganku kuat mencengkram
pinggulnya.
“Cabut den..cabut…jangan didalem..”Serunya panik.
Aku masih sempat menarik penisku keluar tepat
ketika spermaku datang menerjang.
“Ahhhhh….mbakkk..oooh…shhh..ahhh…”Jeritk u
ketika sperma itu menyemprot panas tepat diatas
bongkahan pantat bahenol mbak Juminten.
Sebagian mendarat di dalam belahan pantatnya,
mengalir turun menelusuri permukaan anusnya. Jari
tangan mbak Juminten menyelusup dibagian situ,
menahan aliran sperma itu mendekati vaginanya
dan menyekanya dengan cepat.
Kami terkesima dengan nafas tersengal. Nikmat
masih menjalari benak kami dalam bisu. Akhirnya
permainan ini usai.
Aku terduduk lemas di pinggir ranjang menatap
mbak Juminten yg masih berdiri dari belakang,
badanya limbung memegang pinggiran meja. Cairan
sperma itu berkilauan pada bagian pantatnya. Juga
terlihat cairan putih kental dari dalam vaginanya yg
tertahan bulu lebat kemaluan mbak Juminten.
Hujan telah reda ketika kami duduk di ruang tamu.
Bocah kecil itu tengah serius menonton tivi di
belakang kami. Dia tidak menyadari bahwa ibunya
baru saja telah bertarung hebat di kamar
bersamaku.
Mata kami yg hanya berbicara saat itu, apa yg
sudah terjadi tadi membungkam kami tenggelam
dalam pikiran masing2.
Semenjak hari itu hubungan kami berada dalam
suasana yg baru. Usaha katering yg kujanjikan
berjalan sukes, tarah hidup mbak Juminten
meningkat lebih baik.
Hingga hari ini mbak Juminten masih menemani
gairah mudaku yg tak kenal batas. Ada terbersit
dalam hati untuk menikahinya suatu hari nanti,
biarlah waktu yg menentukan akhirnya. Udara dingin
perkebunan teh ini membuat kami terus larut.

0 komentar:

Posting Komentar