Kamis, 24 Juli 2014

Dokter Shinta (Dewasa17+)

Shinta adalah seorang dokter
muda. Dia baru saja
menamatkan pendidikannya
pada sebuah universitas
ternama di Sumatera. Selain
kecerdasannya yang mengantarkan dirinya meraih
gelar dokter. Shinta juga
merupakan gambaran profil
generasi muda masa kini.
Disamping sebagai gadis yang
sangat cantik, Shinta yang berusia 24 tahun ini juga lincah
dan intelek dan dikenal oleh
teman-temannya sebagai
gadis yang cinta lingkungan
dan masalah sosial budaya. Dia
sangat senang dengan petualangan alam. Selama 2 tahun terakhir di
kampusnya Shinta dipercaya
teman-temannya menjadi
Ketua Group Pecinta Alam.
Sangat kontras memang.
Dilihat dari penampilan fisiknya yang demikian cantik
dan lembut Shinta adalah ahli
bela diri Kung Fu pemegang
sabuk hitam. Disamping itu dia
juga sebagai pemanjat tebing
yang handal dan juga beberapa kali telah mengikuti kegiatan
arung jeram dengan
menelusuri sungai-sungai
ganas di seputar Sumatera. Sebagaimana dokter baru ia
harus menjalani masa PTT
pada sebuah desa yang jauh
dari tempat tinggalnya. Reaksi
orang tuanya dalam hal ini
ibunya dan Rudi tunangannya adalah sangat keberatan saat
mendengar bahwa dia harus
bertugas di desa terpencil itu.
Ibu Shinta sangat menyayangi
Shinta. Beliaulah yang terus
mendorong sekolah Shinta hingga lulus menjadi dokter.
Orang tua Shinta cerai saat
Shinta masih kecil. Sampai
tamat dokter Shinta mengikuti
ibunya. Shinta tak pernah
kenal dan tahu bagaimana dan dimana ayahnya sekarang. Selain jauh dari kotanya
daerah itu masih sangat
terbelakang dan terisolir.
Bayangkan, untuk mencapai
daerah itu orang harus
seharian naik bus antar kota, kemudian disambung dengan
ojek hingga ke tepian desa
yang dimaksud. Di desanya
sendiri yang sama sekali tak
ada sarana transportasi juga
belum terjangkau oleh penerangan listrik. Tak ada TV
dan belum ada sambungan
pesawat telpon maupun
antene repeater untuk
penggunaan hand phone. Ibunya minta pamannya yang
adik kandung ibunya bersama
Rudi tunangannya untuk
menyempatkan diri meninjau
langsung desa itu. Sepulang
dari desa tersebut mereka menyatakan bahwa betapa
berat medan yang akan
dihadapi oleh Shinta nantinya.
Mereka khawatir dan cemas
pada Shinta yang rencananya
pada bulan Haji nanti akan dinikahkan dengan Rudi.
Shinta dan Rudi telah
bertunangan selama hampir 2
tahun. Rudi sendiri adalah
seorang insinyur pertanian
yang telah bekerja di Dinas Pertanian Kabupaten. Tetapi
semua kecemasan dan
kekhawatiran orang tua dan
tunangannya itu tidak
terlampau ditanggapi oleh
Shinta. Untuk lebih menghayati cerita
selanjutnya, biarlah Shinta
sendiri yang menceriterakan
kisah yang dialaminya
sebagaimana yang tertera di
bawah ini, Cerita Shinta Aku sendiri justru sangat
tertantang oleh kondisi desa
itu. Idealisku muncul dan
mendorong aku untuk terus
maju saat kupelajari keadaan
geografi, sosial demografi dan sosial ekonomi dan budaya
lokal masyarakat desa itu. Aku
berketatapan hati tak akan
mundur oleh tantangan yang
sungguh romantik itu. Aku
ingin bisa membagi ilmu dan pengetahuanku dan
ketrampilan serta
pengalamanku bagi
masyarakat di desa itu. Aku
ingin bisa mengabdikan diriku
pada mereka yang serba kekurangan dan penuh
keterbelakangan itu. Dan pada
akhirnya karena sikapku yang
cerah dan tegar maka baik ibu
maupun tunanganku
mendukung PTT-ku di desa terpencil itu. Setelah melalui 1 hari
perjalanan yang melelahkan
dengan diantar oleh paman
dan Mas Rudi aku sampai di
desa penuh tantangan itu.
Kami di sambut oleh perangkat desa itu dan kepala dusun.
Seorang tetua yang juga
kepala dusun yang bernama
Pak Tanba secara spontan
meminjamkan salah satu
ruangan di rumahnya untuk kubuat poliklinik sederhana. Sesudah 2 hari membuat
persiapan tempat praktek
dokter dan acara peresmian
ala kadarnya aku diterima
resmi oleh masyarakat sebagai
dokter di desa itu. Aku juga akan memberikan pelayanan
kesehatan ke desa-desa di
sekitar desaku. Dengan pesan-
pesan serta berbagai wanti-
wanti, paman bersama Rudi
pulang kembali ke kota dengan meninggalkan aku
yang telah siap untuk memulai
tugasku. Sesaat sebelum
beranjak aku memandangi
Rudi. Dari matanya aku
membaca kerinduan yang hinggap. Dia akan rindu kapan
akan kembali saling membelai.
OK, Rud. Ini khan hanya untuk
waktu 6 bulan. Dan kita akan
menikah sesudahnya, bukan?! Pada hari pertama aku diajak
keliling desa oleh Pak Tanda
bersama aparat desa untuk
dikenalkan kepada masyarakat
desa itu. Pada hari-hari
selanjutnya aku menunggu masyarakat yang memerlukan
bantuanku di poliklinik.
Apabila diperlukan aku juga
akan mendatangi pasien yang
tidak mampu mengunjungi
tempat praktekku. Hari-hari pertama bertugas aku dibantu
oleh kader kesehatan yang
telah aku beri pelatihan
sederhana. Pada saat yang
sangat diperlukan Pak Tanba
bersedia membantu untuk mengantar aku melayani
panggilan dari masyarakat. Orang-orang desa itu telah
mafhum akan kelebihan Pak
Tanba. Dia sangat akrab dan
disenangi masyarakat di
sekitarnya. Dia merupakan
orang yang paling kaya untuk ukuran desa itu namun sama
sekali tidak menunjukkan
kesombongan. Dengan
usahanya selaku pengumpul
hasil bumi Pak Tanba bisa
memiliki beberapa rumah di desa itu dan beberapa lagi di
desa sekitarnya. Yang lebih hebat lagi, Pak
Tanba yang usianya sudah lebih
65 tahun itu mampu memiliki
3 orang istri. Artinya
disamping mampu dalam arti
materiil, Pak Tanba juga memiliki kemampuan lahiriah
yang sangat baik. Tubuhnya
masih nampak sehat dan tegar
dan selalu siap melakukan
kewajibannya untuk
memberikan nafkah lahir batin kepada para istrinya.
Wajahnya yang keras tetapi
penuh wibawa memberikan
kesan 'melindungi' pada
siapapun yang dekat
dengannya. Dan memang demikianlah, Pak Tanba orang
yang ringan tangan dan kaki
untuk memberikan
pertolongan pada orang lain,
pada masyarakat desanya atau
siapapun. Istri-istri Pak Tanba boleh
dibilang bukan perempuan
sembarangan. Istri pertamanya
Rhayah, usianya telah 57 tahun.
Dialah 'permaisuri'
sesungguhnya dari Pak Tanba. Dari Rhayah lahir 3 anaknya
yang telah dewasa dan
berumah tangga. Pada Rhayah,
Pak Tanba menunjukkan
bagaimana dirinya sebagai
suami yang selalu memberikan nafkah lahir bathin tanpa
pernah pilih kasih pada yang
lebih muda atau lebih cantik. Istri ke 2-nya adalah Siti
Nurimah. Seorang janda dari
desa yang cukup jauh dari
desanya. Siti Nurimah adalah
perempuan yang memiliki toko
klontong di desanya. Dari Nurimah Pak Tanba memiliki 2
orang anak yang masih
bersekolah. Nurimah sangat
baik hatinya. Dia tak pernah
menunjukan iri atau cemburu
pada istri Pak Tanba yang lain. Kemudian istrinya yang
terakhir masih sangat muda.
Umurnya 19 tahun. Dia masih
perawan saat dikawini Pak
Tanba. Karena jasa Pak Tanba
pada keluarganya, Halimah demikian namanya yang
berperangai halus dan cantik
itu rela menjadi istri ke 3 Pak
Tanba. Sikapnya selalu hormat
pada Pak Tanba dan para
istrinya yang terdahulu. Sehari- hari Halimah adalah guru SD di
desanya. Saat ini Halimah
sedang mengandung 9 bulan.
Diperkirakan dia akan
melahirkan dalam waktu dekat
ini. Aku sering berpikir bahwa koq
ada orang macam Pak Tanba.
Pendidikannya yang rendah,
dia hanya tamatan SD, tidak
membuatnya menjadi orang
kecil. Aku menilai Pak Tanba adalah 'orang besar' dalam arti
sesungguhnya. Dia orang yang
selalu pegang komitmen,
terlihat pada bagaimana
hubungannya dengan para
istrinya. Dia juga seorang yang pekerja keras dan senang
melakukan kegiatan sosial
demi kebahagiaan orang
banyak. Tak pernah aku
mendengar keluhannya selama
dia membantu tugas-tugasku. Dia selalu menunjukkan
kegembiraannya. Dan yang juga aku kagumi, dia
jarang lelah atau sakit. Dia
nampak selalu sehat. Tubuhnya
sendiri yang nampak cukup
gempal kondisinya sangat
segar tanpa penyakit. Dengan rambutnya yang masih hitam
dan tebal, giginya yang tetap
utuh di tempatnya dan sorot
matanya yang demikian
energik, sepintas orang yang
melihatnya akan terkesan umur Pak Tanba paling sekitar
50 tahunan. Atau lebih muda
15 tahun dari umur yang
sebenarnya. Dan satu hal yang
mungkin membuatnya mudah
mendapatkan istri, tampang dan gayanya yang simpatik.
Tidak tampan tetapi enak
dilihatnya. Dalam kegiatannya selaku
pengumpul hasil bumi Pak
Tanba banyak berkeliling ke
desa-desa disekitarnya dengan
mengendarai sepeda motor. Di
saat tak ada kegiatan dengan senang hati Pak Tanba juga
meminjamkan motornya
kepadaku untuk keperluan
mendatangai pasienku yang
tinggal jauh dari desa. Bahkan
apabila keadaannya sangat genting Pak Tanba turun
tangan sendiri membantu aku
dengan memboncengkan
menuju ke tempat tinggal
pasienku. Pelayanan kesehatan di
tengah-tengah masyarakat
desa yang terpencil ini boleh
dibilang tidak mengenal
waktu. Beberapa kali aku
harus menerima panggilan dari pasienku jauh di tengah
malam. Dan tentu saja hanya
dengan bantuan Pak Tanba aku
bisa memenuhi panggilan dan
kewajibanku itu. Tak terasa kegiatanku yang
terus merangkak telah
memasuki bulan ke 4. Aku
telah mengenal dan dikenal
banyak orang di desaku
maupun desa-desa disekitarnya. Selama itu pula
Pak Tanba telah menunjukkan
betapa dia telah membantu
aku dengan tidak tanggung-
tanggung demi kesejahteraan
serta kesehatan masyarakat di desanya. Aku benar-benar
respek dengan 'goodwill'-nya
Pak Tanba ini. Bahkan aku
sering merasa terharu
manakala dalam mengantar
aku sering mendapatkan berbagai kesulitan. Terkadang
ban motornya yang meletus,
atau mesin yang ngadat
sehingga tak jarang dia mesti
menuntun motornya dengan
berjalan kaki dalam jarak yang cukup jauh. Dalam kesempatan yang lain
kami sering terjebak dalam
jalanan yang licin bekas hujan.
Dengan terseok-seok dia mesti
mendorong motornya
melewati lumpur dan beberapa kali terpeleset jatuh hingga
pakaiannya belepotan lumpur.
Aku sendiri tak bisa berbuat
banyak pada kondisi macam
itu. Yang kumiliki hanyalah
rasa iba yang tak mungkin berbagi padanya. Di lain pihak kami berdua
sering menrasakan suatu
kepuasan batin. Manakala
upaya menolong orang sakit
atau sesekali ibu-ibu yang
melahirkan dan semuanya berakhir dengan selamat dan
sukses kami sungguh merasa
sangat bahagia. Terkadang
kebahagiaan itu kami
ungkapkan dengan sangat
spontan. Kami saling berpelukan karena perasaan
bahagia atas sukses yang
begitu banyak menuntut
pengorbanan. Dari berbagai macam hal yang
penuh suka duka macam itu
hubunganku dengan Pak Tanba
menjadi semakin emosional.
Kami bukan semata
berhubungan dengan tugas atau kewajiban semata. Tetapi
kami semakin merasakan apa
yang membuat Pak Tanba
senang atau susah akupun ikut
merasakan senang atau
susahnya. Demikian pula sebaliknya. Terkadang terlintas dalam
pikiranku, alangkah
bahagianya istri-istrinya
memiliki suami macam Pak
Tanba yang sangat 'concern'
pada peranannya sebagai suami maupun sebagai
manusia yang merupakan
bagian dari manusia lainnya.
Sungguh langka seorang suami
macam Pak Tanba. Aku sendiri merasakan betapa
'adem' saat Pak Tanba hadir di
dekatku. Perasaan yang tak
pernah kudapatkan
sebelumnya. Seakan didekatku
ada pelindung. Ada yang memperhatikan dan
membantu saat aku
mendapatkan masalah.
Adakah begitu yang diberikan
seorang 'ayah' pada putrinya?
Adakah aku merindukan 'ayah' yang hingga kini aku tak
pernah mengenal dan tahu
dimana keberadaannya?
Perasaan 'menyayangi' secara
tulus, aku menyayangi Pak
Tanba dan Pak Tanba menyanyangi aku merupakan
wujud nyata yang mengiringi
setiap kebersamaanku dengan
dia. Dan anehnya, ini aku akui, aku
resah kalau tak ada Pak Tanba.
Aku gelisah kalau tak
berjumpa dengannya. Misalnya
aku kehilangan konsentrasi
kerja saat dia sedang menggilir istrinya barang 1
atau 2 hari. Aku sering
merenungi kenapa perasaanku
aku jadi sangat tergantung
pada Pak Tanba. Dan perasaan
resahku itu semakin dalam dan mendalam dari hari ke hari. Pada suatu malam, sekitar
pukul 9 malam ada orang dari
desa sebelah bukit dan ladang
yang datang. Istrinya sedang
diserang demam dan meracau.
Dia panik dan kemudian dengan ditemani tetangganya
dia mendatangi aku minta
pertolongan. Kebetulan saat
itu ada Pak Tanba yang baru
pulang dari mengurus
dagangan hasil bumi dari desanya. Tanpa menunjukkan
kelelahan atau kejenuhan Pak
Tanba menyarankan agar aku
lekas mengunjungi orang sakit
itu. Dia siap untuk mengantar
aku. Sesudah menanyakan letak rumahnya secara jelas
dia minta pamit untuk
mendahului pulang. Dengan
berjalan kaki mereka bisa
memotong jalan hingga
kemungkinan dia akan lebih dahulu sampai dari pada aku.
Mereka akan menunggu kami
di pintu desa. Sesudah aku menyiapkan alat-
alat yang diperlukan kami
berangkat ke desa yang
dimaksud. Aku melihat langit
begitu gelap. Sesekali nampak
kilat menerangi pepohonan. "Wah, ini mau hujan
kelihatannya, Pak Tanba ",
"Iya nih, Bu dokter, Mudah-
mudahan nantilah hujannya
sesudah semua urusan
rampung", Namun aku tak khawatir.
Selama Pak Tanba ada di
dekatku sepertinya segala
hambatan hanya untuk dia. Dia
akan menghadapinya untuk
aku. Karena jalan desa yang tak mulus macam di kota, aku
harus erat-erat memeluk
pinggang Pak Tanba agar tak
terlempar dari boncengan
motornya. Memang
demikianlah setiap kali kami berboncengan. Dan kalau
badan yang seharusnya tidur
ini masih harus bepergian,
maka kantukku kusalurkan
dengan menempelkan
kepalaku ke punggung Pak Tanba. Dia nggak keberatan
atas ulahku ini. "Tidur saja Bu dokter, jalannya
masih cukup jauh". Perjalanan itu hampir
memakan waktu 1 jam.
Mungkin hanya 10 menit kalau
jalanannya macam jalan aspal
di kota. Sampai di pintu desa
nampak mereka yang menjemputku. Masih beberapa
rumah dan kebon yang mesti
kami lewati. Aku
mendapatkan seorang
perempuan yang sedang
menggigil karena demam yang tinggi. Sesudah kuperiksa dia
kuberi obat-obatan yang
diperlukan. Kepada suami dan
kerabatnya yang di rumah itu
aku berkesempatan
memberikan sedikit penerangan kesehatan. Aku
sarankan banyak makan sayur
dan buah-buahan yang banyak
terdapat di desa itu.
Bagaimana mencuci bakal
makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan terlalu asyik
dengan ikan asin. Kalau
berkesempatan buatlah kakus
yang benar. Perhatikan
kebersihan rumah dan
sebagainya. Terkadang Pak Tanba ikut melengkapi
omonganku. Dari sekian puluh
kali dia mengantar aku,
akhirnya dia juga menguasai
ilmu populer yang sering
kusiarkan pada penduduk itu. Saat pulang, kilat dari langit
makin sering dengan sesekali
diiringi suara guntur. Jam
tanganku menujukkan pukul
10.30 malam. Ah, hujan, nih.
Pak Tanba mencoba mempercepat laju
kendaraannya. Angin malam di
pedesaan yang dingin terasa
menerpa tubuhku. Kira-kira setengah perjalanan
kami rasakan hujan mulai
jatuh. Lampu motor Pak Tanba
menerangi titik-titik hujan
yang seperti jarum-jarum
berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada
pinggulnya dan lebih
menyandarkan kepalaku ke
punggungnya untuk mencari
kehangatan dan
menghindarkan jatuhan titik- titik air ke wajahku. Hujan memang tak kenal
kompromi. Makin deras. Aku
pengin ngomong ke Pak Tanba
agar berteduh dulu, tetapi
derasnya hujan membuat
omonganku tak terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan
aku semakin erat memeluki
pinggulnya. Tiba-tiba dia
berhenti. Rupanya kami
mendapatkan dangau beratap
daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau
tempat jualan milik orang desa
sebelah. Kalau siang hari
tempat ini dikunjungi orang
yang mau beli peniti, sabun
atau barang-barang kebutuhan lain yang bersifat kering. Ada
'amben' dari bambu yang tidak
luas sekedar cukup untuk
duduk berteduh. Pak Tanda
lekas menyandarkan motornya
kemudian lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya
duduk. "Sini Pak, cukup ini buat
berdua," Dan tanpa canggung dia
mendekat ke aku dan sambil
merangkulkan tangannya ke
pundakku duduk di sampingku. "Ibu kedinginan?"
"Iyalah, Pak.." sambil aku juga
merangkul balik pinggangnya
dengan rasa akrab. Untuk beberapa saat kami
hanya diam mendengarkan
derasnya hujan yang
mengguyur. Omongan apapun
nggak akan terdengar. Suara
hujan yang seperti dicurahkan dari langit mengalahkan suara-
suara omongan kami.
Beberapa kali aku menekan
pelukanku ke tubuh Pak Tanba
untuk lebih mendapatkan
kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah
menempel ke dadanya. Aku nggak tahu bagaimana
mulanya. Kudengar dengusan
nafas Pak Tanba di telingaku
dan tahu-tahu kurasakan
mukanya telah nyungsep ke
leherku. Aku diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan
aku merasakan betapa damai
pada saat-saat seperti ini ada
Pak Tanba. Aku juga ingin
membuat dia merasa senang
di dekatku. Tiba-tiba dia menggerakkan
kecil wajahnya dan leherku
merasakan bibirnya
mengecupku. Aku juga diam.
Aku sendiri sesungguhnya
sedang sangat lelah. Ini jam- jam istirahatku. Kondisi rasio
dan emosiku cenderung malas.
Aku cenderung cuek dan
membiarkan apa maunya. Aku
nggak perlu mengkhawatirkan
ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak berkorban
untukku. Dan aku sendiri yang
semakin kedinginan karena
pakaianku yang basah
ditambahi oleh angin kencang
malamnya yang sangat dingin merasakan bibir itu
mendongkrak kehangatan dari
dalam tubuhku. Bahkan
kemudian aku juga tetap
membiarkan ketika akhirnya
kurasakan kecupan itu juga dilengkapi dengan sedotan
bibirnya. Aku hanya sedikit
menghindar. "Aiihh.." desahku tanpa upaya
sungguh-sungguh untuk
menghindar. Hingga kudengar. "Bb.. Bu dokteerr.." desis bisik
setengah samar-samar di
tengahnya suara hujan yang
semakin deras menembusi
gendang telingaku.
"Buu.." kembali desis itu. Dan aku hanya, "Hhmm.." Aku nggak tahu mesti
bagaimana. Aku secara tulus
menyayangi Pak Tanba sebagai
sahabat dan orang yang telah
demikian banyak menolong
aku. Aku menyayanginya juga karena adanya rasa 'damai dan
terlindungi' saat dia berada di
dekatku. Aku juga
menyayanginya karena rasa
hormatku pada seorang lelaki
yang begitu 'concern' akan nilai tanggung jawabnya. Aku
menyayangi Pak Tanba sebagai
bentuk hormatku pada seorang
manusia yang juga mampu
menunjukkan rasa sayangnya
pada sesama manusia lainnya. Adakah aku juga menyayangi
karena hal-hal lain dari Pak
Tanba yang usianya
mungkinlebih tua dari ayahku?
Adakah aku sedang dirundung
oleh rasa sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang
ayah yang belum pernah
kujumapi? Adakah aku
merindukan belaian Rudi
tunanganku? Sementara aku
masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan
bibir dengan halus melata
pelan ke atas menyentuhi
kupingku yang langsung
membuat darahku berdesir. Jantungku tersentak dan
kemudian berdenyut kencang.
Tubuhku tersentak pula oleh
denyut jantungku. Rasa dingin
yang disebabkan angin malam
dan pakaian basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku
menuntun tanganku untuk
berusaha mencari pegangan.
Dan pada saat yang bersamaan
tangan kiri Pak Tanba
mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya
merangkul untuk kemudian
menelusup ke bawah baju
basahku. Dia meraba
kemudian mencengkeramkan
dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku. Kemudian juga meremasinya
pelan. Darahku melonjak
dalam desiran tak tertahan.
Jari-jari tangannya yang kasar
itu menyentuh dan menggelitik
puting susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak
Tanba lakukan ini. Tetapi aku
tak hendak menolak. Aku
merasakan semacam nikmat.
Aku menggelinjang berkat
remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung
disergap rasa dahaga yang
amat sangat. Dengan sedikit menggeliat aku
mendesah halus sambil sedikit
menarik leher dan
menengadahkan mukaku.
Sebuah sergapan hangat dan
manis menjemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung
melumat bibirku. Oocchh.. Apa
yang telah terjadi.. Apa yang
melandaku dalam sekejab ini..
Apa yang melemparkan aku
dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini.. Seperti burung yang terjerat
pukat, aku merasakan ada arus
yang mengalir kuat dan
menyeretku. Namun aku tak
berusaha mencari selamat.
Aku justru kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus
itu. Tanganku bergerak ke
atas. Kuraih kepala Pak Tanba
dan menarik menekan ke
bibirku. Aku ingin dia benar-
benar melumatku habis. Aku mau dahagaku terkikis
dengan lumantannya. Aku
menghisap bibirnya. Kami
saling melumat. Lidah Pak
Tanba meruyak ke mulutku dan
aku menyedotinya. Aku langsung kegerahan dalam
hujan lebat dan dinginnya
malam pedesaan itu. Tubuhku
terasa mengeluarkan keringat.
Mungkin pakaianku mengering
karena panas tubuhku kini. "Mmmhh.." desahnya.
"Mllmmhh.." desahku. Aku tak tahu lagi apa yang
berikutnya terjadi. Aku hanya
merasa Pak Tanba
merebahkan tubuhku ke
'amben' bambu itu sambil
mulutnya terus melumati bibirku. Dan tanganku tak
lepas dari pegangan di
kepalanya untuk aku bisa lebih
menekankannya ke bibirku.
Desah dan rintih yang tertimpa
bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan
cepat menggiring kami
ketepian samudra birahi.
Hasrat menggelora
menggelitik saraf-saraf
libidoku. Kemudian kehangatan bibir itu
melepas dari bibirku untuk
melata. Pak Tanba sesaat
melumat dan menggigit kecil
bibir bawahku untuk kemudian
turun melumati daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah
ini demikian mengobarkan
syahwatku.. Ayoo.. Terus
Paakk.. Aku hauss.. Pak
Tanbaa.. Leherku mengelinjang begitu
bibir Pak Tanba
menyeranginya. Kecupan demi
kecupan dia lepaskan dan aku
tak mampu menahan gejolak
nafsuku. Aku beranikan menjerit di tengah hujan keras
di atas dangau sepi dekat
tepian desa ini. "Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak
Tanbaa.. ". Aku menggelinjang kuat. Aku
meronta ingin Pak Tanba
merobek-robek nafsu birahiku.
Aku ingin dia cepat
menyambut dahagaku.
Tiba-tiba tangan Pak Tanba merenggut keras baju
dokterku. Dia renggut pula
blusku. Semua kancing-kancing
bajuku putus terlepas. Pak
Tanba menunjukkan kebuasan
syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar oleh
hasrat nikmat birahiku. Aku
merasakan seorang yang
sangat jantan sedang berusaha
merampas kelembutan
keperempuananku. Dan aku harus selekasnya menyerah
pada kejantanannya itu. Dia 'cokot'i buah dadaku. Dia
emoti susu-susuku. Di gigit-
gigit pentil-pentilku. Sambil
tangannya mengelusi
pinggulku, pantatku, pahaku.
Ciuman-ciumannya terus menyergapi tubuhku. Dari dada
turun ke perut dan turun lagi..
Turun lagi.. Aku benar-benar
terlempar ke awang lepas. Aku
memasuki kenikmatan dalam
samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba lakukan pada
tubuhku belum pernah aku
rasakan sebelumnya. Aku sama
sekali tak mempertimbangkan
adanya Rudi tunanganku itu. Dan yang lebih-lebih
menyiksaku kini adalah rasa
gatal yang sangat di seputar
kemaluanku. Tanpa mampu
kuhindarkan tanganku sendiri
berusaha menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa
rasa malu aku lepasi celana
dalamku sendiri. Kulemparkan
ke tanah. Aku menekan-nekan
bagian atas vaginaku untuk
mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan
birahiku meleleh luber keluar
dari vaginaku. Sensasi dari Pak Tanba terus
mengalir. Kini bibirnya telah
merasuk lebih kebawah. Dia
mengecupi dan menjilat-jilat
selangkanganku. Dan itu
membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut
Pak Tanba dalam upaya
menahan kegatalan
syahwatku. Pak Tanba rupanya
tahu. Bibirnya langsung
merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat
bibir vaginaku. Lidahnya
menjilati cairan birahiku.
Kudengar.. Ssluurrpp..
Sslluurrpp.. Saat menyedoti
cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang nafsuku. Aku tak tahan lagi. Aku ibarat
hewan korban persembahan
Pak Tanba yang siap menerima
tusukan tajam dari tombaknya.
Kobaran birahiku menuntut
agar persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu
Pak Tanba agar bangkit dan
cepat menikamkan tombaknya
padaku. Ayoolaahh.. Paakk.. Aku tak tahu kapan Pak Tanba
melepasi pakaiannya. Bahkan
aku juga tak sepenuhnya
menyadari kenapa kini aku
telah telanjang bulat. Pak
Tanba memang lekas merespon kobaran nafsuku.
Dia telah jauh pengalamannya.
Apa yang aku lakukan mungkin
sudah sering dia dapatkan dari
istri-istrinya. Dengan sigap dia
naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia
benamkan wajahnya ke
lembah ketiakku. Dia menjilati
dan menyedotinya. Sementara itu aku juga
merasakan ada batang keras
dan panas menekan pahaku.
Tak memerlukan pengalaman
untuk mengetahui bahwa itu
adalah kemaluan Pak Tanba yang telah siap untuk menikam
dan menembusi kemaluanku.
Tetapi dia terhenti. Detik-detik
penantianku seakan-akan
bertahun-tahun. Dia berbisik
dalam parau. "Bu Dokter, ibu masih
perawan?" Aku sedikit tersentak atas
bisikkannya itu. Yaa.. Aku
memang masih perawan.
Akankah aku serahkan ini
kepada Pak Tanba? Bagaimana
dengan Rudi nanti? Bagaimana dengan masa depanku?
Bagaimana dengan risiko
moralku? Bagaimana dengan
karirku? Dalam sekejab aku
harus mengambil sikap.
Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik. Dalam posisi begini ternyata
aku mampu berpikir jernih,
walau sesaat. Kemudian aku
kembali ke arus syahwat birahi
yang menyeretku. Aku tidak
menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung
menjemput bibirnya untuk
melumatinya sambil sedikit
merenggangkan pahaku. Aku
rela menyerahkan
keperawananku kepada Pak Tanba. Ditengah derasnya hujan dan
dinginnya pedesaan, diatas
'amben' bambu dan disaksikan
dangau beratap daun nipah di
tepi jalan tidak jauh dari pintu
desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku.
Aku tak menyesalinya. Hal itu
sangat mungkin karena rasa
relaku yang timbul setelah
melihat bagaimana Pak Tanba
tanpa menunjukkan pamrihnya membantu tugas-tugasku. Dan
mungkin juga atas sikapnya
yang demikian penuh
perhatian padaku. Rasa 'adem'
dan 'terlindungi' dari sosok dan
perilaku Pak Tanba demikian menghanyutkan kesadaran
emosi maupun rasioku hingga
aku tak harus merasa
kehilangan saat
keperawananku di raihnya. Sesaat setelah peristiwa itu
terjadi Pak Tanba nge-'gelesot'
di rerumputan dangau itu
sambil menangis di depan
kakiku. Ini juga istimewa
bagiku karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa
menangis. "Maafkan kekhilafan saya, Bu
Dokter. Saya minta ampuunn.." Tetapi aku cepat meraihnya
untuk kembali duduk di
'amben'. Bahkan aku
merangkulinya. Bahkan sambil
kemudian menjemput bibirnya
dan kembali melumatinya aku katakan bahwa aku sama
sekali rela atas apa yang Pak
Tanba telah lakukan kepadaku.
Malam itu sebelum beranjak
pulang kami sekali lagi
menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak
Tanba menuntunku bagaimana
supaya aku bisa meraih
orgasmeku. Dia bimbing aku
untuk menindih tubuhnya yang
kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk diarahkan
ke kemaluanku. Kemudian dia
dorong tarik sesaat sebelum
aku berhasil melakukannya
sendiri. Betapa sensasi
syahwat langsung menyergapku. Aku mengayun
pantat dan pinggulku seperti
perempuan yang sedang
mencuci di atas penggilesan.
Hanya kali ini yang berayun
bukan tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil
meraih orgasmeku secara
beruntun menyertai saat-saat
orgasme dan ejakulasinya Pak
Tanba yang kurasakan pada
kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan panasnya
semprotan sperma kentalnya
dalam liang sanggamaku. Aneh, saat kami bersiap
pulang langit mendadak jadi
terang benderang. Bahkan
bulan yang hampir purnama
membagikan cahayanya
mengenai pematang sawah di tepian jalan itu. Sebelum Pak
Tanba menarik motornya dia
sekali lagi meraih pinggangku
dan kembali memagut bibirku
kemudian. "Bu Dokter maukah kamu
menjadi istriku?," Aku tak menjawab dalam kata
pula. Aku hanya mencubit
lengannya yang dibalas Pak
Tanba dengan 'aduh'. Dalam keremangan cahaya
bulan kami memasuki desa
tantanganku. Aku merenungi
betapa desa ini telah
memberiku banyak arti dalam
hidupku. Dan pada dini pagi yang dingin itu kutetapkan
hatiku. Aku akan mengabdi
pada desa tantanganku ini.
Aku akan jadi dokter desa dan
tinggal bersama suamiku
sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu. Saat pamanku datang
menjemput dan kebetulan
tanpa disertai Rudi karena
sedang bertugas di luar
kotanya semuanya kuceritakan
kepadanya. Kusampaikan bahwa dengan sepenuh
kesadaranku aku telah
menemukan jalan dan
pilihanku. Aku akan mengabdi
di desa tantanganku. Dan aku
minta tolong untuk disampaikan kepada Rudi
permohonan maafku yang
telah mengecewakannya. Dan
tentu saja kepada ibuku
disamping restunya yang selalu
aku perlukan. 



T H E    E N D

0 komentar:

Posting Komentar